Masyarakat Arab di zaman kuno (jahiliyah) sangat menghormati seseorang jika ia memiliki dua keahlian, pertama bergulat dan kedua bersyair. Dapat dipastikan jika ada seorang yang menjadi jawara dibidang tersebut maka tak pelak ia akan menjadi kebanggaan kabilahnya. Intinya masyarakat di jazirah Arab saat itu menggangumi dua hal yang menjadi paradoks yaitu kekuatan dan kelembutan.
Sesudah agama Islam menyebar di gurun pasir tersebut, kekuatan para penyair pun tenggelam. Para penyair begitu terpesona dengan gaya bahasa Al- Quran sehingga tidak mampu menciptakan sebuah karya syair yang bermutu.
Berabad kemudian ketika Islam sudah menjadi kekuatan yang mapan di Timur dan Barat muncullah banyak sastrawan terkemuka. Formula ilmu Balaghah menjadi jalan perentas munculnya syair-syair bermutu dari zaman itu.
Seorang Profesor bahasa Spanyol dan Portugis di Yale University bernama Maria Rosa Menocal dalam bukunya “Sepotong surga di Andalusia” yang menceritakan suatu masa lebih dari tujuh abad ketika Muslim, Yahudi dan Kristen hidup bersama dalam atmosfir toleransi. Andalusia (Spanyol dan Portugal sekarang) menjadi suatu tempat yang didalamnya literatur, sains, dan seni berkembang dengan pesat.
Ia menuliskan bahasa Arab melalui syair menjadi kekuatan yang menarik bagi komunitas lainnya di Andalusia. Mengutip suara hati Paul Alvarus, sorang tokoh vokal pada tahun 855 M di Kordoba tepatnya 144 tahun sesudah Thariq bin Ziyad mendarat di jazirah Iberia. “Orang-orang Kristen sangat senang membaca berbagai syair dan roman Arab. Mereka mempelajari para teolog dan filosof Arab, bukan untuk menolak pemikirannya, melainkan untuk mengetahui tata bahasa Arab yang benar dan indah…..”
Syair dan sains adalah dua hal yang berlawanan namun sesungguhnya saling melengkapi. Umar Kayyam seorang matematikawan ulung dizamannya sekarang ini lebih terkenal sebagai seorang sastarawan karena jejak yang ia tinggalkan.
“Bersyairlah karena ia melembutkan hati.”
Dalam syair terdapat kekuatan tersembunyi, ia bisa melenakan namun ia juga memiliki kemampuan untuk membakar semangat.
sebatang palem tegak berdiri di tengah perkebunan Rusafa,
lahir di Barat, jauh dari tanah leluhurnya
ku berkata kepadanya : Betapa miripnya kau dan aku,
terpencil dan terbuang
terpisah jauh dari keluarga dan teman.
kau t’lah tumbuh di tanah terasing bagimu;
dan aku, sepertimu, jauh dari kampung halaman
Abdul Al-Rahman penerus dinasti Ummayyah di Andalusia di usianya yang lanjut menulis sebuah puisi yang indah dan singkat, tapi menyentuh hati, sebuah ode tentang pohon palem. Mengenang kehidupannya sebagai satu-satunya orang yang selamat dari pembantaian kejam seluruh keluarganya ketika kekuasaan Ummyyah terganti oleh Daulah Abbasiyyah. Meski Abdul Al-Rahman bukan penulis ahli namun warisannya sama penting dengan sejarah Andalusia itu sendiri untuk menyimpan kenang-kenangan dari para leluhur.
Dulunya ia seorang pemuda pemberani yang melarikan diri dari kejaran pendukung Daulah Abbasiyah secara maraton dari Damaskus menembus Afrika hingga mendarat di Andalusia. Ia menghabiskan tiga dasawarsa untuk mengubah sebuah kota kecil menjadi ibukota dari dunia yang berperadaban dan makmur. Kota ini bernama Kordoba bahkan hingga saat ini ketika ia tak lagi menjadi bagian dari Darul Islam.
“Seorang pejuang yang hanya mengetahui satu sisi kekuatannya akan mudah dikalahkan, teguh dalam prinsip dan lembut dalam perasaan adalah sifat pejuang terbaik”
matanya menangis pilu
ia menoleh kebelakang, melihat lagi pada mereka
ia melihat pintu-pintu terbuka dan gerbang-gerbang tanpa perikatan
serambi-serambi kosong tanpa tirai atau penutup
dan tanpa elang-elang, elang-elang tlah berganti bulu